Manajemen Kotak Sarang

From SAMSwiki
Jump to: navigation, search

Manajemen kotak sarang, yang dilakukan oleh peternak lebah, didefinisikan sebagai manipulasi aktif koloni lebah madu, untuk meningkatkan produksi lebah madu dan untuk memastikan kelangsungan hidup koloni. Praktik manajemen sarang (lihat: Jenis sarang) yang umum meliputi: penyakit profilaksis dan pengobatan koloni secara menyeluruh, pencegahan / pengendalian pecah koloni, pemberian makanan tambahan, menghilangkan sel-sel ratu untuk pencegahan pecah koloni, dll. [1] Karena data yang dipublikasikan terpisah, maka harus disebutkan, bahwa tidak ada informasi yang disediakan yang mewakili seluruh negara, tetapi hanya untuk daerah tertentu.



Ethiopia: Praktek pemeliharaan lebah berbeda antar wilayah. Sementara sebuah survei tentang teknik pemeliharaan lebah di Zona Jijiga mengungkapkan, bahwa 13% responden (peternak lebah) memeriksa bagian dalam sarang mereka setiap minggu, 14% peternak lainnya memeriksa setiap hari kelima belas, dan 23%, hanya sekali dalam sebulan. [2] Sebuah survei oleh Gebremedhin (2015) di wilayah Amhara dan distrik Kewet mengungkapkan, bahwa 33,3% peserta memeriksa sarang mereka secara teratur. [3] Harus disebutkan, bahwa hasilnya juga bergantung pada pemeliharaan lebah. Tidak ada data yang membandingkan tentang pemeriksaan sarang secara tradisional dan modern di banyak tempat di Ethiopia. [4] [5] Sebsib dan Yibrah (2018) mengulas, bahwa umumnya peternak memeriksa sarang secara eksternal dan membersihkan kotak sarang lebah untuk menghindari serangan semut. Kemudian mereka menemukan alasan mengapa para peternak tidak memeriksa bagian dalam sarang lebah. Beberapa alasannya seperti: takut sengatan lebah, membuat koloni kabur dari sarang, tidak memiliki waktu untuk memeriksa bagian dalam sarang dan kurangnya pengetahuan tentang manfaat mengelola sarang lebah. [6] Tidak ada deskripsi lebih lanjut tentang rincian proses "inspeksi sarang bagian dalam" dan "luar" (memanipulasi sarang atau hanya pengamatan koloni).


Indonesia: Tidak ada informasi resmi yang tersedia tentang inspeksi sarang, tetapi seorang ilmuwan lokal (Universitas Padjadjaran, Indonesia) mengklaim, bahwa jumlah inspeksi sarang berkisar antara sekali dalam seminggu dan sekali dalam sebulan, bergantung pada ketersediaan pakan, kebutuhan pemanenan, dan pada tingkat pemeliharaan peternak lebah (pendapatan utama, atau pendapatan tambahan). Selanjutnya, peternak lebah yang memulai inspeksi, membersihkan area di sekitar sarang, diikuti dengan membuka sarang dan menilai status koloni (status kesehatan lebah madu, kehadiran ratu, ...). Jika perlu, peternak lebah yang berpengalaman dan berketerampilan tinggi bahkan mampu memperluas sarang mereka.


Pemberian Pakan:

Selama periode tidak tersedianya pakan, pemberian makanan tambahan sangat penting untuk menghindari koloni yang kabur dan memastikan kelangsungan hidup koloni. Suplemen yang cocok harus dipilih bergantung pada jenis makanan yang tidak tersedia (serbuk sari, nektar atau air). [7]


Ethiopia: Sebuah penilaian terhadap praktik pemeliharaan lebah di Wilayah Jigjiga (2015) mengungkapkan bahwa peternak lebah yang diwawancarai menyadari tentang pentingnya ketersediaan air bagi lebah madu mereka. Mereka menyediakan air dalam bentuk sumur resapan, kolam, atau sungai/aliran air dekat peternakan lebah. [2] Tidak semua peternak lebah memberikan makanan tambahan. Sementara itu, Assemu et al. (2013) mengungkapkan bahwa lebih dari 60% peternak lebah yang disurvei di wilayah Amhara barat menyediakan pakan lebah tambahan, [8] Serda et al. (2015) melakukan penelitian di Distrik Haramaya, Ethiopia Timur, dan menemukan bahwa hanya 3,1% dari peserta suplemen memberi makan koloni mereka selama tidak tersedianya pakan lebah di alam. [9] Untuk menyediakan karbohidrat, peternak lebah Ethiopia memberi makan larutan gula, atau madu, atau tepung gandum yang dipanggang (gandum dan jagung). Berdasarkan pada kondisi iklim yang berbeda, terdapat perbedaan waktu pemberian pakan tambahan pada tiap wilayah. Peternak lebah dari wilayah Tigray memberikan makanan tambahan di bulan Februari hingga Mei. Di wilayah Amhara barat, peternak lebah yang disurvei mengungkapkan, bahwa kekurangan makanan terjadi sepanjang tahun, sementara ada puncaknya masing-masing di bulan April, Maret dan Februari. [8] Menurut Fichtl dan Adi (1994), ada beberapa daerah, di mana biasa menawarkan "potongan daging yang baru disembelih" sebagai sumber protein tambahan. Namun, metode ini tampaknya dipertanyakan mengenai kemungkinan kandungan patogen dalam produk lebah yang berbahaya untuk manusia. [10]] Pengganti serbuk sari yang lebih umum adalah buncis dan kacang polong. [10] [11] Dalam sebuah penelitian oleh Zaghlou et al. (2017) yang membandingkan tiga makanan tambahan untuk lebah (kacang kedelai, buncis dan jagung kuning), menghasilkan kesimpulan bahwa buncis menempati tingkat terendah dalam peningkatan hasil madu, banyaknya jumlah telur perhari, dan perluasan area induk. [12]


Indonesia: Cara pemberian pakan koloni lebah madu di setiap negara tidak sama. Pembungaan terjadi sepanjang tahun, dan oleh karena itu sering diyakini, bahwa lebah madu memiliki pakan yang cukup (tanaman kayu yang memiliki bunga dapat menghasilkan serbuk sari tetapi tidak ada nektar dan sebaliknya). [7] Tidak ada data yang dipublikasikan tentang pemberian makanan tambahan di Indonesia, tetapi seorang ilmuwan lokal (Universitas Padjadjaran, Indonesia) mengklaim, bahwa pemberian makanan tambahan dilakukan peternak lebah selama musim kemarau. Sumber karbohidrat tambahan yang paling umum adalah larutan gula karena mudah dan harga yang terjangkau. Peternak lebah menempatkan suplemen di dalam sarang (larutan gula digantung di dalam sarang agar lebih terlindung dari gangguan luar). Widowati et al. (2013) mengganti serbuk sari lokal dengan komposisi yang berbeda. Mereka menemukan, bahwa campuran tepung kedelai, susu skim, ragi, madu dan sirup gula lebih disukai oleh koloni A. cerana dan campuran di atas menghasilkan produktivitas tertinggi untuk produksi lebah. [13] Penelitian menunjukkan, bahwa bahan-bahan yang tersedia secara lokal dapat digunakan untuk menghasilkan sumber protein berkualitas tinggi untuk lebah madu.

Pencegahan Koloni Membentuk Koloni Baru (Swarming):

Berkerumun/berkumpul (swarming) dapat terjadi baik karena berkembangbiak, dimana koloni memperbanyak individu atau ketika koloni akan kabur, dimana koloni lebah madu meninggalkan sarangnya jika tekanan lingkungan menjadi tinggi. Lebah yang berkerumun karena berkembangbiak dipicu oleh ukuran koloni, [14] lebah yang kabur berkaitan dengan berbagai faktor seperti kekeringan, penggembalaan berlebihan, penggundulan hutan, penyakit dan hama, kekurangan air, pengelolaan sarang lebah yang buruk, kurangnya perlindungan terhadap cuaca buruk, atau kekurangan tanaman melliferous (serbuk sari, nektar), dll. [15] [16]


Ethiopia:Untuk mencegah swarming karena berkembangbiak, para peternak lebah memotong bagian-bagian sisir induk, menghilangkan sel-sel ratu, memperbesar volume sarang, atau menyediakan tempat bersarang yang baru tersedia secara instan dalam bentuk sarang kosong. [2] [17] Bersama-sama dengan metode yang disebutkan, sebuah studi oleh Tessega (2009) mengungkapkan peran penting dari kearifan lokal untuk peternakan lebah (distrik Burie dan wilayah Amhara). Di daerah penelitian, 10,3% responden mencegah swarming dengan pengasapan pada sarang lebah dengan tulang kuda atau bagal (anak kuda/keledai), 5,1% menggunakan urin bagal, difumigasi dengan "etan putih" (1,7%), atau menggunakan "ambacho teketila" dan "yejart eshoh" (2,6%). [18] Sebsib dan Yibrah (2018) mengulas, bahwa sebagian besar peternak lebah tidak melakukan pencegahan terhadap swarming. Salah satu alasannya mungkin karena penyebaran sarang tradisional yang luas yang sering dipasang di pohon-pohon tinggi. Jadi inspeksi sangat sulit. [6]

Gambar 1: Distribusi 5 subspesies A. mellifera di Ethiopia dan periode berkerumun reproduksi utama mereka. Gambar diambil dari Amssalu (2016). [19]


Indonesia: Tidak ada informasi yang tersedia tentang praktik manajemen untuk mencegah swarming, tetapi di wilayah Pager Ageung, Tasikmalaya, Pulau Bawean dan Gresik, peternak lebah tidak mencegah swarming, sebaliknya, mereka membiarkan koloni mereka melarikan diri selama musim kemarau dan menangkap koloni liar selama musim pembungaan. [20] Menurut seorang ilmuwan lokal (Universitas Padjadjaran, Indonesia), peternak lebah mengeliminasi lebah pejantan dan sel-sel ratu baru, menempatkan "perangkap lebah" di dekat sarang mereka, atau menghasilkan cabang koloni untuk mencegah swarming.

Manajemen kesehatan lebah:

Ethiopia: Menurut seorang ilmuwan lokal (Pusat Penelitian Lebah Lebah, Ethiopia), peternak lebah, yang mengenali masalah kesehatan dalam koloni lebah mereka, harus melapor ke kantor ternak kabupaten (bab: "Berurusan dengan masalah kesehatan lebah madu"). Jika peternak lebah tidak mampu mengenali penyakitnya, kantor peternakan kabupaten akan membantu mengidentifikasi dan menawarkan saran tentang metode pengobatan yang tepat.


Indonesia: Menurut seorang ilmuwan lokal (Universitas Padjadjaran, Indonesia), para peternak lebah yang lebahnya terjangkit penyakit tidak melaporkan masalah tersebut kepada pemerintah atau kepada asosiasi peternak lebah, tetapi lebih memilih untuk berkonsultasi dengan peternak lebah lain yang sudah berpengalaman untuk menangani penyakit tersebut. (lihat: "Menangani masalah kesehatan lebah madu").


Mendapatkan koloni baru:

Di Ethiopia dan di Indonesia, ada banyak koloni lebah madu liar. Oleh karena itu, banyak peternak lebah bergantung pada berburu koloni dibandingkan dengan membeli koloni baru. Untuk meningkatkan peluang keberhasilan berburu koloni baru, oleskan lilin lebah atau propolis di dalam sarang jebakan untuk membantu koloni lebah liar menemukan sarang baru lebih cepat (komunikasi dengan UNPAD). [21]

References

  1. Carrol, T. (2006). A Beginner’s Guide to Beekeeping in Kenya. Legacy Books Press, Nairobi, Kenya.
  2. 2.0 2.1 2.2 Fikru, S. (2015). Review of Honey Bee and Honey Production in Ethiopia. J. Anim. Sci. Adv., 5(10), 1413-1421.
  3. Gebremedhn, B. (2015). Honeybee production systems in Kewet Districtof Amhara, Ethiopia. Livestock Research for Rural Development 27(5), text is available on website. URL (access date: 15.11.2018): http://www.lrrd.cipav.org.co/lrrd27/5/gebr27095.html).
  4. Kebede, T., & Lemma, T. (2007). Study of honey production system in Adami Tulu Jido Kombolcha district in mid rift valley of Ethiopia. Livestock Research for Rural Development 19(11), 1-10.
  5. Kerealem, E., Tilahun, G., & Preston, T. (2009). Constraints and prospects of apiculture research and development in Amhara region, Ethiopia. Livestock Research for Rural Development 21(172), text is available on website. URL (access date: 15.11.2018): http://www.lrrd.org/lrrd21/10/ejig21172.htm.
  6. 6.0 6.1 Sebsib, A., & Yibrah, T. (2018). Beekeeping Practice, Opportunities, Marketing and Challenges in Ethiopia: Review. Dairy and Vet Sci J., 5(3), 1-21: 555662.
  7. 7.0 7.1 Crane, E. (1990). Bees and beekeeping: science, practice, and world resources. Ithaca, N.Y. : Comstock Pub. Associates.
  8. 8.0 8.1 Assemu, T., Kerealem, E., & Adebabay K. (2013). Assessment of Current Beekeeping Management Practice and Honey Bee Floras of Western Amhara, Ethiopia. Inter J Agri Biosci, 2(5), 196-201.
  9. Serda, B., Zewudu, T., Dereje, M., & Aman, M. (2015). Beekeeping Practices, Production Potential and Challenges of Bee Keeping among Beekeepers in Haramaya District, Eastern Ethiopia. J Veterinar Sci Technol 6(255), 1-5.
  10. 10.0 10.1 Fichtl, R., & Adi, A. (1994). Honeybee Flora of Ethiopia. Margraf Verlag Germany.
  11. Solomon, B. (2009). Indigenous knowledge and its relevance for sustainable beekeeping development: a case study in the Highlands of Southeast Ethiopia. Livestock Research for Rural Development, 21(11), 1-12.
  12. Zaghloul, A . O., El-Sayed, N. A., Hassona, N. M., Mourad, A. K., & Abdel-Razek, B. A. (2017). Enhancement of Honey Production of Apis mellifera L. Colonies in Egypt. Alexandria Science Exchange Journal, 38(3), 426-432.
  13. Widowati, R., Basukriadi, A., Oetari, A., Anwar, E., & Sjamsuridzal, W. (2013). The Effect of Pollen Substitutes on the Productivity of Apis cerana in Indonesia, Bee World, 90(3), 72-75.
  14. Crane, E. (1999). The World History of Beekeeping and Honey Hunting. Gerald Duckworth & Co. Ltd, London.
  15. Haftom, G., Zelealem, T., Girmay, M., & Awet, E. (2013). Seasonal honeybee forage availability, swarming, absconding and honey harvesting in Debrekidan and Begasheka Watersheds of Tigray, Northern Ethiopia. Livestock Research for Rural Development 25(4). HTML-Version.
  16. Tesfaye, K., & Tesfaye, L. (2007). Study of honey production system in Adami Tulu Jido Kombolcha district in mid rift valley of Ethiopia. Livestock Research for Rural Development, 19(11), 1-9.
  17. Solomon, B. (2009). Indigenous knowledge and its relevance for sustainable beekeeping development: a case study in the Highlands of Southeast Ethiopia. Livestock Research for Rural Development, 21(11), 1-12.
  18. Tessega, B. (2009). Honeybee production and marketing systems, constraints and opportunities in Burie District of Amhara Region, Ethiopia. Master thesis (Animal Production), 116p. Retrieved from Bahir Dar (Ethiopia): Bahir Dar University.
  19. Amssalu, B. (2016). Apiculture Research Achievements, Challenges and Future Prospects in Ethiopia. In: Agricultural Research for Ethiopian Renaissance Challenges, Opportunities and Directions. Proceedings of the National Conference on Agricultural Research for Ethiopian Renaissance. Addis Ababa, Ethiopia.
  20. Kahono, S., Chantawannakul, P., & Engel, M. S. (2018). Social Bees and the Current Status of Beekeeping in Indonesia. In book: Asian Beekeeping in the 21st Century. Springer, Singapore. 287-306.
  21. Kigatiira, K. I. (2014). African Honeybee. Ncooro Academy, Nairobi, Kenya.