Kesulitan dalam Pemeliharaan Lebah

From SAMSwiki
Jump to: navigation, search

Kendala dan masalah berikut mungkin tidak mewakili seluruh negara objek pengamatan karena variabilitas dalam budaya dan kondisi setempat. Tetapi, upaya ilmiah yang dilakukan secara regional mungkin dapat dicoba dalam pengembangan sektor perlebahan di seluruh negara.



Ethiopia: Stabilitas produksi berdampak pada pendapatan peternak lebah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti manajemen koloni lebah madu yang buruk dan sistem produksi tradisional. Produktivitas dan kualitas produk lebah di Ethiopia dianggap rendah. [1] Masalah utamanya adalah terbatasnya ketersediaan pakan lebah (yang tersedia adalah tanaman beracun, tanaman musiman, dan deforestasi), kelangkaan air (kekeringan), perilaku pecah koloni dan perginya koloni lebah madu akibat kekurangan pakan atau penyakit, kematian koloni, berkurangnya koloni lebah madu, hama dan predator ( semut, badger madu, ngengat lilin, Varroa ...), ketiadaan atau buruknya kualitas peralatan / bahan perlebahan, penggunaan pestisida dan herbisida yang tidak pandang bulu, kurangnya penyimpanan dan fasilitas pemasaran, dan secara umum adalah kurangnya pengetahuan tentang budidaya lebah. [2] [3] [4] [5] [6] Sebuah studi oleh Tesfaey & Tesfaye (2007) mengungkapkan bahwa 98% responden, yang tinggal di wilayah mid rift valley, tidak pernah berpartisipasi dalam pelatihan pemeliharaan lebah. Lebih jauh lagi, beternak lebah tampaknya tidak menarik bagi beberapa orang yang disurvei karena kendala yang disebutkan di atas dan gabungan dari kendala-kendala tersebut. [7] Pemeriksaan sarang bagian dalam tampaknya sama sekali tidak diketahui oleh sebagian banyak peternak lebah, meskipun mereka teratur untuk memeriksa dan merawat bagian luar sarang. Sebagian besar peternak lebah tidak mengetahui tujuan pemberian makanan tambahan setelah musim panen madu, atau tentang pentingnya mengendalikan kondisi pecah koloni (lihat: "Penanganan sarang lebah" - pencegahan hangat) lebah madu. [8] Konduktor yang terlibat dalam proyek ASPIRE, yang menilai masalah dalam pengembangan bisnis, menemukan, bahwa masalah utama peternak lebah skala kecil adalah karena kurangnya kredit/keuangan (modal), tidak terkaitnya produsen dan pengelola pasar, rendahnya kualitas produk lebah madu, masalah pasokan rantai pada bagian input, keterkaitan pasar internasional dan batasan peran asosiasi-asosiasi terkait. [9] Panci, kulit hewan, dan kantong pupuk sering digunakan untuk kemasan madu, tetapi tidak cocok digunakan sebagai kemasan, yang mengakibatkan penurunan nilai dan kualitas madu. Transportasi dari daerah pedesaan ke perkotaan sering menggunakan tenaga hewan karena kurangnya infrastruktur. [10] Sekitar 95% sarang lebah di Ethiopia adalah sarang lebah tradisional yang sulit dikelola dan produktivitasnya rendah. [9] Sarang tradisional tidak mungkin dikelola untuk dijadikan peternakan berkelanjutan karena tidak ada bingkai sarang yang dapat digerakkan/dipindahkan, dan ini akan merusak koloni lebah madu selama panen yang berdampak pada pengurangan populasi secara drastis. Peternakan lebah tradisional dengan sarang tradisional (misal: sarang lebah dalam batang kayu) biasanya terletak pada dahan pohon yang tinggi. Karena Ethiopia memiliki budaya memanjat pohon dan yang boleh memanjat hanyalah kaum pria, maka para wanita tidak boleh menjadi peternak lebah. [11]


Indonesia: Buruknya kualitas produk lebah madu adalah masalah utama di Indonesia (kadar air mencapai >25%, kebersihan yang buruk, pengoplosan madu dengan sirup gula). [12] [13] ] Selain itu juga karena kurangnya pengetahuan tentang cara beternak lebah yang tepat, kapasitas panen produk lebah madu menjadi rendah. [12] Sebagian besar peternak lebah Indonesia menggunakan A. cerana untuk beternak lebah, tetapi spesies lebah madu ini dikenal kurang produktif daripada A. mellifera dan perilaku melarikan diri dari sarang pun lebih tinggi dari. [14] Sayangnya, tidak ada banyak informasi tentang perbandingan peternakan lebah di Indonesia dengan Ethiopia, tetapi beberapa masalah antar kedua negara tergolong masih sangat mirip (lebah madu yang melarikan diri dari sarang, kurangnya pengetahuan tentang praktik beternak lebah, masalah pakan lebah, kurangnya fasilitas penyimpanan hasil produksi, kurangnya infrastruktur, kurangnya fasilitas pasar, dan penggunaan pestisida). [12] [13] [15] [16]


References

  1. Beyene, T., Abi, D., Chalchissa, G., WoldaTsadik, M., (2016). Evaluation of transitional and modern hives for honey production in the Mid Rift Valley of Ethiopia. Bulletin of Animal Health and Production in Africa, 64(1), 157–165.
  2. Gidey, Y., Bethelhem, K., Dawit, K., & Alem, M. (2012). Assessment of beekeeping practices in Asgede Tsimbla district, Northern Ethiopia: Absconding, bee forage and bee pests. African Journal of Agricultural Research, 7(1), 1-5.
  3. Gidey, Y., & Mekonen, T. (2010). Participatory Technology and Constraints Assessment to Improve the Livelihood of Beekeepers in Tigray Region, northern Ethiopia. CNCS, 2(1), 76-92.
  4. Legesse, G. Y. (2014). Review of progress in Ethiopian honey production and marketing. Livestock Research for Rural Development, 26(1), 1-6.
  5. Sisay, F., Gebremedhin, G., & Awoke, K. (2015). Assessment of Beekeeping Practices (Absconding, Bee Forage and Bee Diseases and Pests) in Jigjiga Zone, Somali Regional State of Ethiopia. Poult Fish Wildl Sci, 3(135), 1-8.
  6. Yetimwork, G., Berhan, T., & Desalegn, B. (2015). Honeybee production trend, potential and constraints in Eastern Zone of Tigray, Ethiopia. Agriculture and Biology Journal of North America, 6(1), 22-29.
  7. Tesfaye, K., & Tesfaye, L. (2007). Study of honey production system in Adami Tulu Jido Kombolcha district in mid rift valley of Ethiopia. Livestock Research for Rural Development, 19(11), 1-9.
  8. Solomon, B. (2009). Indigenous knowledge and its relevance for sustainable beekeeping development: a case study in the Highlands of Southeast Ethiopia. Livestock Research for Rural Development, 21(11), 1-12.
  9. 9.0 9.1 Negash, B., & Greiling, J. (2017). Quality Focused Apiculture Sector Value Chain Development in Ethiopia. Journal of Agricultural Science and Technology A, 7(2), 107-116.
  10. SNV/Ethiopia (2005). Strategic intervention plan on honey & beeswax value-chains, snv support to business organizations and their access to markets (boam).
  11. Awraris, G. S., Yemisrach, G., Dejen, A., Nuru, A., Gebeyehu, G., & Workneh, A. (2012). Honey production systems (Apis mellifera L.) in Kaffa, Sheka and Bench-Maji zones of Ethiopia. Journal of Agricultural Extension and Rural Development, 4(19), 528-541.
  12. 12.0 12.1 12.2 Amir, A., & Pengembangan, Y., U. M. (2002) Forest-Dependent Community Development Through Apis Cerana Beekeeping Programm. Apiacata, 4, 1-4.
  13. 13.0 13.1 Crane, E. (1990). Bees and beekeeping: science, practice, and world resources. Ithaca, N.Y.: Comstock Pub. Associates.
  14. Oldroyd, B. P., & Nanork, P. (2009). Conservation of Asian honey bees. Apidologie, 40(3), 296–312.
  15. Peluso, N. L. (1992). Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley, Los Angeles, Oxford, University of California Press.
  16. Akratanakul, P. (1987). Beekeeping in Asia. FAO Agricultural Services Bulletin, 68(4).