Madu
Honey
Ethiopia: Negara ini merupakan produsen madu terbesar di Afrika dan termasuk dalam sepuluh besar di dunia (Impor/Ekspor Produk Lebah Madu) dan karena musim hujan terjadi dua kali setahun maka madu dapat dipanen setidaknya dua kali setahun. [1] [2] Produksi madu tahunan diperkirakan 43.000 t/tahun dengan potensi produksi madu sekitar 550,000 t/tahun. [3] [4] [5] Potensi produksi madu tahunan tersebut didasari modernisasi nasional sektor budidaya lebah (kotak sarang modern, peningkatan jumlah kotak sarang/peternak, ...). Diperkirakan kira-kira, 95% sarang lebah (Jenis sarang) di Ethiopia menggunakan metode tradisional dengan produktivitas rendah. [4] Menurut Gemechis (2016) dan MoARD (2007) sarang lebah tradisional menghasilkan sekitar 5-8 kg madu [3] [6], , sedangkan rata-rata produksi madu dalam kotak sarang modern berkisar antara 15-20 kg. [5] [7] Menurut FAO, jumlah rata-rata madu per sarang selama 24 tahun adalah 7,55 kg dan karenanya sesuai dengan pengamatan yang disebutkan sebelumnya. [8] 70-80% madu yang diproduksi digunakan untuk memproduksi tej (minuman tradisional) dan sisanya dijual sebagai madu biasa. [7] [9] [10] 10% madu dikonsumsi langsung oleh peternak lebah, sementara sisanya dijual untuk mendapatkan penghasilan. [6] Salah satu masalah kualitas utama adalah tingkat kadar air madu yang tinggi. Sampel dari seluruh negara mengungkapkan kadar air antara 15,25% dan 30,45%. Hasilnya bervariasi dengan jenis sarang yang digunakan (sarang tradisional memiliki kadar air 1,5-3,0% lebih tinggi daripada sarang modern) dan wilayah sampel (daerah yang sangat lembab lebih terpengaruh). [6] Madu dari sarang tradisional kadang-kadang merupakan campuran serbuk sari, lilin, dan madu, karena tidak umum di antara beberapa peternak lebah Ethiopia untuk memisahkan madu mentah dari komponen lain. [10] [11] Bahan penyimpanan yang disukai untuk madu adalah kantong plastik, kaleng/barel, wadah plastik, pot tanah liat/batang kayu dan kulit binatang. [12] Daerah penghasil madu dan lilin lebah terkemuka di Ethiopia termasuk Oromia (41%), SNNPR (22%), Amara (21%) dan Tigray (5%) (rantai nilai pasar madu). [10]
Menurut statistik FAO (2018), total volume madu yang diproduksi antara tahun 1993 dan 2004 terus meningkat, tetapi berfluktuasi sesudahnya: 24.000 t pada tahun 1993, 28.000 t pada tahun 1998, 40.900 t pada tahun 2004, dan 42.000 t pada tahun 2008, 45.905 t pada 2012, 0 t pada 2013/2014 dan 47.706 t pada 2016. [8] Seperti pada gambar di bawah ini, data resmi statistik FAO (2018) juga menunjukkan produksi madu 0 t pada tahun 2013 dan 2014. [8]
Jumlah madu yang diproduksi per sarang berkisar antara 6,86 kg pada tahun 1993 dan 10,49 kg pada tahun 2006 dengan rata-rata produksi 7,55 kg / sarang pada tahun 1993-2016 (gambar di bawah). [8]
Indonesia: Sayangnya, baik FAO, maupun penyedia statistik lainnya tidak memberikan data tentang produksi madu Indonesia. Namun, diperkirakan, Indonesia membutuhkan 3.750 ton madu per tahun, sementara pasokan hanya 500-2.000 ton per tahun. [13] [14] De Jong (2000) memperkirakan produksi madu di wilayah Kalimantan (berdasarkan budidaya lebah dengan metode “papan madu”) antara 53 kg dan 267 kg per operasi perlebahan per tahun. [15] Shouten et al. (2019) menilai situasi perlebahan di 4 pulau di Indonesia dan menemukan, bahwa rata-rata hasil madu tahunan dari sarang lebah A. cerana berkisar antara 0,5 kg hingga 5 kg per sarang dan sangat tergantung pada musim. Seorang peternak lebah yang disurvei menyebutkan hasil madu tiga kali lebih tinggi saat panen di musim hujan dibandingkan dengan hasil musim kemarau. Penulis mengklaim, bahwa hasil tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena peternak lebah yang dipertanyakan jarang melakukan pencatatan dan menyimpan hasilnya. [16] Harus disebutkan, bahwa perlebahan di Indonesia masih dianggap sebagai “kegiatan pertanian paruh waktu” dan oleh karena itu sektor perlebahan masih kecil. Ada berbagai cara untuk mendapatkan madu, misalnya memelihara koloni lebah kecil yang tidak menyengat (stingles bee), atau berburu madu dari lebah A. dorsata , di mana madu hutan sering dikonsumsi secara lokal dan karenanya data tentang jumlah madu yang dipanen terdata untuk analisis statistik. [17] Kemudian, konsumsi madu per orang per tahun adalah sekitar 15g (sangat rendah). [13] Ada sedikit informasi terkini tentang kualitas madu Indonesia, tetapi sebuah penelitian pada tahun 1988 mengungkapkan kadar air yang tinggi antara 20,7 dan 36,3% (22 sampel dari pasar desa Sumatera) dan pemalsuan dengan sukrosa (gula tebu, atau sirup gula) di sebagian besar sampel (Kesulitan dalam Pemeliharaan Lebah). Selain itu, beberapa sampel madu yang diselidiki direbus untuk menguapkan air untuk viskositas produk yang lebih tinggi, yang menyebabkan kandungan hidroksimetilfurfural (HMF) yang tinggi. [18] Dalam studi yang belum dipublikasikan oleh Shouten et al. dijelaskan kadar air rata-rata dari madu indonesia yaitu 24%. [16] Menurut seorang ilmuwan lokal (Universitas Padjadjaran, Indonesia), peternak lebah Indonesia menjual madu mereka dalam dua bentuk berbeda, madu siap konsumsi (madu biasa dikemas dalam toples kaca) dan madu sarang (Honeycomb), yang disebut "madu sarang" (madu yang dijual termasuk seluruh sisir). Menjual madu sarang semakin menarik, karena membantu menanggulangi masalah pemalsuan madu. Untuk informasi lebih lanjut tentang kutipan impor dan ekspor madu, lihat: Impor/Ekspor Produk Lebah Madu.
References
- ↑ Adeday, G., Shiferaw, M., & Abebe, F. (2012). Prevalence of Bee Lice Braula coeca (Diptera: Braulidae) and Other Perceived Constraints to Honey Bee Production in Wukro Woreda, Tigray Region, Ethiopia. Global Veterinaria, 8(6), 631-635.
- ↑ MoA & ILRI (2013). Apiculture value chain vision and strategy for Ethiopia. Addis Ababa, Ethiopia: Ministry of Agriculture and International Livestock Research Institute.
- ↑ 3.0 3.1 MoARD (2007). Ministry of Agriculture and Rural Development. Livestock Development Master Plan Study. Phase I Report - Data Collection and Analysis, Volume N - Apiculture. Addis Ababa, Ethiopia.
- ↑ 4.0 4.1 Negash, B., & Greiling, J. (2017). Quality Focused Apiculture Sector Value Chain Development in Ethiopia. Journal of Agricultural Science and Technology A, 7(2), 107-116.
- ↑ 5.0 5.1 Taye, B., Desta, A., Girma, C., & Mekonen, W. T. (2016). Evaluation of transitional and modern hives for honey production in the Mid Rift Valley of Ethiopia. Bulletin of Animal Health and Production in Africa, 64(1), 157–165.
- ↑ 6.0 6.1 6.2 Gemechis, L. Y. (2016). Honey Production and Marketing in Ethiopia. Agriculture And Biology Journal Of North America, 7(5), 248-253.
- ↑ 7.0 7.1 Gidey, Y., & Mekonen, T. (2010). Participatory Technology and Constraints Assessment to Improve the Livelihood of Beekeepers in Tigray Region, northern Ethiopia. CNCS, 2(1), 76-92.
- ↑ 8.0 8.1 8.2 8.3 FAO (2018). FAOSTAT database collections. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Access date: 23.04.2018. URL: http://faostat.fao.org
- ↑ Legesse, G. Y. (2014). Review of progress in Ethiopian honey production and marketing. Livestock Research for Rural Development 26(1), 1-6.
- ↑ 10.0 10.1 10.2 SNV/Ethiopia (2005). Strategic intervention plan on honey & beeswax value-chains, snv support to business organizations and their access to markets (boam).
- ↑ Fichtl, R., & Adi, A. (1994). Honeybee Flora of Ethiopia. Margraf Verlag Germany.
- ↑ Awraris, G., S., Yemisrach, G., Dejen, A., Nuru, A., Gebeyehu, G., & Workneh, A. (2012). Honey production systems (Apis mellifera L.) in Kaffa, Sheka and Bench-Maji zones of Ethiopia. Journal of Agricultural Extension and Rural Development, 4(19), 528-541.
- ↑ 13.0 13.1 Widiatmaka, W., Wiwin, A., Chandrasa, E. S., & Lailan, S. (2006). Geographic Information System and Analytical Hierarchy Process For Land Use Planning of Beekeeping in Forest Margin of Bogor Regency, Indonesia. Jurnal Silvikultur Tropika, 7(3), 50-57.
- ↑ Roman, A. (2006). Effect of Pollen Load Size on the Weight of Pollen Harvested from Honeybee Colonies (Apis mellifera L.). Journal of Apicultural Science, 50(2), 47-57.
- ↑ De Jong, W. (2000). Micro-differences in Local Resource Management: The Case of Honey in West Kalimantan, Indonesia -a Brief Comment. Human Ecology, 28(4), 631-639.
- ↑ 16.0 16.1 Shouten, C. N., Lloyd, D. J., & Lloyd, H. (in press). Beekeeping with the Asian Honey Bee (Apis cerana javana Fabr) in Indonesia. (status: 10.11.2018)
- ↑ De Jong, W. (2002). Forest products and local forest management in West Kalimantan, Indonesia: implications for conservation and development. Wageningen: Tropenbos International.
- ↑ White, J. W., Platt, Jr. J. L., Allen-Wardell, G., & Allen-Wardell, C. (1988). Quality Control for Honey Enterprises in Less-Developed Areas: An Indonesian Example, Bee World, 69(2), 49-62.